Wednesday, January 5, 2011

ETIKA BISNIS DAN PENTAHAPANNYA

KOMPAS tanggal 24 April 1995 mengangkat masalah etika bisnis dengan judul: “Etika Bisnis di Indonesia Semakin Tidak Ditaati”. Beberapa pakar dan pengamat, antara lain Todung Mulya Lubis mensinyalir manifestasinya sebagai “Para pengusaha leluasa berkiprah dan menguasai pasar komoditas tertentu dengan tak mengindahkan lagi ‘sopan santun’ berbisnis. Repotnya, situasi ini masih ditambah bobotnya oleh sikap pemerintah yang ‘membiarkan’ penguasaan suatu komoditas dari hulu sampai hilir oleh dua tiga pengusaha saja”.

Juga dikatakan bahwa “…kekisruhan di bisnis ayam yang menyebabkan banyak peternak kecil bangkrut, ada penguasaan komoditas kertas dan minyak goring dari hulu sampai hilir oleh konglomerat sehingga home industry di bidang minyak goreng banyak yang gulung tikar, dan ada pemenangan tender dari yang itu-itu juga. Ada yang me-mark up kredit dan bahkan kemudian digunakan untuk kepentingan lain, sehingga akhirnya menimbulkan kredit macet hingga sekarang”.

Dikatakan sendiri oleh Mulya Lubis, bahwa “etika bisnis bias disebutkan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat, sebab bukan hukum”.

Kalau etika bisnis tidak mengikat, apa dasarnya? Dasarmya adalah standar moral, tata nilai dan persepsi yang berlaku di masyarakat, yang menganggap para pelanggarnya bukan orang yang beradab, rendah martabatnya, menjijikkan dan sebagainya. Maka yang perlu dipertanyakan adalah apakah standar moral, tata nilai dan persepsi yang dimiliki oleh Mulya Lubis dan beberapa elit bangsa kita, juga dimiliki oleh anggota masyarakat pada umumnya, terutama para pelaku bisnisnya? Nyatanya tidak. Di dalam pergaulan sehari-hari, para pengusaha besar tertentu yang dirasa sebagai serakah, melanggar segala etika bisnis, justru sangat dihormati, dielu-elukan sebagai pengusaha hebat, dianggap sebagai asset nasional yang harus dilindungi dan ditumbuhkembangkan dan seterusnya. Jadi apa yang salah?

SUMBER:

http://adelineal-balj.blogspot.com/ search/label/Tugas%20Softskill%20Etika%20Bisnis

Tuesday, January 4, 2011

Media Australia Beritakan "Pemerasan" Terhadap Pencari Suaka

ANTARA NEWS, Minggu, 15 November 2009 18:15 WIB
Brisbane (ANTARA News) - Media Australia, Minggu, menurunkan berita yang menuduh aparat Polisi Air (Pol Air) Indonesia menembaki perahu pengangkut 61 warga Afghanistan di perairan dekat Pulau Rote 13 November lalu karena para pencari suaka tidak bisa membayar lebih banyak uang suap yang diminta polisi.

Mengutip pengakuan seorang pencari suaka Afghanistan berusia 17 tahun yang kini ditahan di Pusat Penahanan Imigrasi Nusa Tenggara Timur (NTT), "Australian Associated Press" (AAP) melaporkan bahwa insiden penembakan itu justru terjadi setelah mereka menyerahkan 50 ribu dolar AS kepada satu kapal Pol Air.

Dalam insiden itu, seorang remaja berusia 17 tahun mengalami luka tembak di tangan dan pria berusia 30 tahun yang diyakini merupakan salah satu dari sembilan awak kapal pengangkut pencari suaka mengalami luka tembak di kakinya. Keduanya kini dirawat di salah satu rumah sakit di Kupang, NTT.

Menurut AAP yang mengklaim mewawancarai pencari suaka Afghanistan berusia 17 tahun dari Pusat Penahanan Imigrasi NTT itu, para pencari suaka sebenarnya sudah menyerahkan 50 ribu dolar AS kepada para awak sebuah kapal Pol Air yang memergoki perahu mereka dalam pelayaran menuju perairan Australia.

Namun, perahu pengangkut 61 pencari suaka Afghanistan itu kembali dihentikan satu kapal patroli Pol Air setengah jam kemudian.

Mengutip pengakuan sepihak remaja Afghanistan yang menjadi narasumbernya, AAP menyebutkan bahwa para awak kapal Pol Air kedua ini meminta para pencari suaka menyerahkan uang namun karena mereka tidak mampu membayar, perahu mereka tidak diizinkan untuk melanjutkan pelayaran.

Para pencari suaka yang yakin perahu mereka sudah berada di perairan internasional "memutuskan untuk terus berlayar". Selanjutnya terjadilah insiden penembakan yang tanpa didahului oleh peringatan apapun, kata remaja Afghanistan itu.

Berkaitan dengan penangkapan perahu pengangkut 61 orang warga Afghanistan itu, Jimmi, nelayan asal Maumere, Pulau Flores, yang terlibat dalam aksi penyelundupan para pencari suaka ini, mengatakan, setiap orang membayar Rp2,5 juta.

"Saya hendak menyeberangkan mereka ke Australia, dengan bayaran Rp2,5 juta per kepala," katanya di Kupang, Sabtu (14/11).

Ke-61 orang pencari suaka Afghanistan itu masih ditahan di markas Pol Air. Sebelumnya aparat kepolisian NTT juga berhasil menangkap 12 orang imigran gelap asal Timur Tengah. Mereka ditahan imigrasi Kupang.

SUMBER:

http://harisaputra-92.blogspot.com/2010/11/media-australia-beritakan-pemerasan.html

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan - CSR

Penggunaan istilah Tanggungjawab Sosial Perusahaan atau atau Corporate Social Responsibility (CSR) akhir-akhir ini semakin populer dengan semakin meningkatnya praktek tanggung jawab sosial perusaan, dan diskusi-diskusi global, regional dan nasional tentang CSR.

Istilah CSR yang mulai dikenal sejak tahun 1970-an, saat ini menjadi salah satu bentuk inovasi bagi hubungan perusahaan dengan masyarakat dan konsumen. CSR kini banyak diterapkan baik oleh perusahaan multi-nasional maupun perusahaan nasional atau lokal. CSR adalah tentang nilai dan standar yang berkaitan dengan beroperasinya sebuah perusahaan dalam suatu masyarakat. CSR diartikan sebagai komitmen usaha untuk beroperasi secara legal dan etis yang berkonstribusi pada peningkatan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas dalam kerangka mmewujudkan pembangunan berkelanjutan.

CSR berakar dari etika dan prinsip-prinsip yang berlaku di Perusahaan dan dimasyarakat. Etika yang dianut merupakan bagian dari budaya (corporate culture); dan etika yang dianut masyarakat merupakan bagian dari budaya masyarakata. Prisnsip-prinsip atau azas yang berlaku di masyarakat juga termasuk berbagai peraturan dan regulasi pemerintah sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan.

Menurut Jones (2001) seseorang atau lembaga dapat dinilai membuat keputusan atau bertindak etis bila: 1) Keputusan atau tindakan dilakukan berdasarkan nilai atau standar yang diterima dan berlaku pada lingkungan organisasi yang bersangkutan. 2) Bersedia mengkomunikasikan keputusan tersebut kepada seluruh pihak yang terkait. 3) Yakin orang lain akan setuju dengan keputusan tersebut atau keputusan tersebut mungkin diterima dengan alasan etis.

Suatu perusahaan seharusnya tidak hanya mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, tetapi juga mempunyai etika dalam bertindak menggunakan sumberdaya manusia dan lingkungan guna turut mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pengukuran kinerja yang semata dicermati dari komponen keuangan dan keuntungan (finance) tidak akan mampu membesarkan dan melestarikan , karena seringkali berhadapan dengan konflik pekerja, konflik dengan masyarakat sekitar dan semakin jauh dari prinsip pengelolaan lingkungan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

CSR dan TBL

Sebagai sebuah inovasi sosial baru dalam kehidupan bersama antara perusahaan dengan masyarakat, pemahaman tentang CSR oleh masyarakat perlu ditingkatkan, termasuk masyarakat kampus. Bagaimana masyarakat kampus akan memberikan inovasi dan berkontribusi bagi implementasi CSR untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kualitas SDM bila masyarakat kampus belum memiliki pemahaman yang memadai tentang CSR dan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam implementasi CSR. Pada hal CSR memiliki potensi besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan secara akademik akan berkembang menjadi sebuah trans-disiplin yang menggabungkan antara aspek-aspek ilmiah dengan aspek-aspek praktis di masyarakat.

John Elkington (1997) sebagai seorang akademisi, merumuskan Triple Bottom Line (TBL) atau tiga faktor utama operasi perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan dan manusia, yaitu faktor manusia dan masyarakat (people), faktor ekonomi dan keuntungan (profit), serta faktor lingkungan (Planet). Ketika faktor ini juga terkenal dengan sebutan triple-P (3P) yaitu people, profit and planet. Ketiga faktor ini berkaitan satu sama lain. Masyarakat tergantung pada ekonomi; ekonomi dan keuntungan perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan, bahkan ekosistem global. Ketiga komponen TBL ini bersifat dinamis tergantung kondisi dan tekanan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan, serta kemungkinan konflik kepentingan.

TBL digunakan sebagai kerangka atau formula untuk mengukur dan menlaporkan kinerja perusahaan mencakup parameter-parameter ekonomi, sosial dan lingkungan dengan memperhatikan kebutuhan stakeholdes (konsumen, pekerja, mitra bisnis, pemerintah, masyarakat lokal dan masyarakata luas) dan shareholders, guna meminimalkan gangguan atau kerusakan pada manusia dan lingkungan dari berbagai aktifitas perusahaan.

TBL bukan skedar laporan kinerja tetapi juga sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki pengambilan keputusan tentang kebijakan dan program ke arah yang lebih baik dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, lingkungan dan masyarakat sekaligus. Penerapan konsep TBL ini berkembang pesat oleh – di Amerika, Kanada, Eropa dan Australia. Berbagai di Indonesia juga mulai menerapkannnya.

Prinsip TBL secara legal sudah lama dianut pemerintah Indonesia, sejak negara Indonesia berdiri, seperti tercantum dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan komponen planet atau lingkungan dari konsep TBL. Kemakmuran merupakan komponen profit atau ekonomi dari konsep TBL. Rakyat merupakan komponen people atau masyarakat dari konsel TBL. Hal ini berarti pengelolaan sumberdaya alam Indonesia seharusnya ditujukan untuk peningkatan kualitas manusia dan lingkungannnya (kemakmuran rakyat)

Berdasarkan konsep TBL tersebut seharusnya konsep dan implementasi CSR mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial dalam peningkatan kualitas hidup pekerja beserta keluarganya serta masyarakat, termasuk konsumen. Dalam perjalanannya, implementasi CSR kadangkala mengalami pembiasan dari nilai-nilai CSR yang “asli”. Pembiasan itu tampak manakala perusahaan hanya melakaukan kegiatan bantuan atau charity atau “pemadam konflik sementara“ kepada masyarakat yang kemudian dianggap sebagai program CSR. Pada hal CSR ideal tidak sekedar sebagai program bantuan untuk menghindari tekanan dari pihak lain, misalnya tekanan masyarakat ataupun sebagai alat kehumasan untuk membentuk citra baik, melainkan merupakan kegiatan pemberdayaan yang berkesinambungan ke arah yang lebih baik.

CSR yang dilakukan oleh – di Indonesia akan berbeda satu sama lain tergantung pada konteks masalah yang dihadapi masyarakat. Perbedaan konteks ini juga akan berimplikasi kepada perbedaan strategi pendekatan yang dilakukan oleh masing-masing. Keberadaan CSR di suatu daerah juga tidak pernah terlepas dari sistem kemitraan kelembagaan yang ada di sekitarnya. Pemerintah, lembaga adat, LSM, dan lembaga sosial masyarakat lainnya juga turut memberikan warna terhadap kegiatan CSR. Keberadaan stakeholder ini bisa hadir sebagai penunjang keberhasilan CSR ataupun sebaliknya, jika proses sinergi di antara para pelaku tersebut tidak dilakukan. (Oleh: Prof. Dr. Hardinsyah, MS).

SUMBER:

http://harisaputra-92.blogspot.com/2010/11/tanggung-jawab-sosial-perusahaan-csr.html
Voltar Avançar Inicio
 

Topo